Beranda » Analisis Fundamental » Analisis Fundamental Emiten Properti & Real Estate
analisis fundamental emiten properti

Analisis Fundamental Emiten Properti & Real Estate

Mumpung lagi musim rilis Laporan Keuangan 3Q20, saya mau membahas tentang analisis fundamental emiten properti dan real estate. Siapa tahu ada yang sedang melakukan riset sektor properti, semoga artikel berikut ini bisa membantu.

Tulisan ini tidak membahas satu emiten properti secara spesifik, melainkan hanya pointers beberapa hal yang menurut saya penting waktu kita melakukan analisis fundamental untuk sektor properti dan real estate. Saya akan menggunakan Laporan Keuangan beberapa emiten properti dan real estate sebagai contoh kasus.

Analisis Fundamental Emiten Properti & Real Estate

Sekilas Bisnis Emiten Property

Sebelum kita mulai, hal terpenting yang harus kita pahami adalah model bisnis perusahaan properti dan real estate.

Ada tiga sumber pendapatan, yaitu :

  1. Sumber utama pendapatan emiten sektor properti dan real estate adalah penjualan properti seperti tanah kavling, rumah tapak dan apartemen.
  2. Kedua, pendapatan sewa misalnya dari sewa kantor dan mall (pusat perbelanjaan).
  3. Yang ketiga, dari jasa manajemen, layanan, dan pemeliharaan.

Sumber pendapatan ketiga biasanya porsi labanya kurang signifikan. Kita bisa fokus saja pada sumber pendapatan pertama dan kedua yaitu penjualan properti dan pendapatan berulang.

Penjualan Tanah dan Bangunan

Agar emiten dapat terus menjual properti, tentunya emiten harus punya persediaan lahan yang cukup. Karena emiten hanya bisa menjual lahan tersebut satu kali. Emiten harus terus menambah cadangan lahannya, agar dapat menjual properti lagi di tahun mendatang.

Jika anda perhatikan laporan Arus Kas, setiap periode emiten biasanya mengeluarkan belanja modal untuk membeli tanah. Dari hasil membaca beberapa Laporan Tahunan, satu hal yang saya amati, biasanya strategi manajemen adalah minimal membeli tanah setara yang terjual periode tersebut (replenish), jadi landbank setidaknya tetap.

Karena tanah adalah aset “langka”, maka biasanya emiten properti dengan landbank besar mendapatkan nilai tambah. Sebaliknya, emiten dengan landbank yang telah menipis, sebagai investor tentunya anda bertanya-tanya, setelah landbank habis, dari mana lagi sumber pendapatan emiten?

Karena tanah terbatas, ketika emiten harus membeli lahan baru untuk persediaan, tentunya harga belinya sudah naik. Bandingkan dengan emiten yang memiliki landbank besar, dengan harga beli yang lebih rendah, margin labanya seharusnya lebih besar.

Pendapatan Berulang dan Sewa

Karena tanah terbatas, maka biasanya manajemen perusahaan properti akan berusaha meningkatkan pendapatan dari segmen pendapatan berulang. Contohnya adalah pendapatan sewa mall, sewa kantor, dan gudang.

Jika manajemen berhasil meningkatkan porsi segmen ini, maka emiten tidak perlu terus menerus menambah persediaan landbank yang semakin lama tentunya semakin langka. Selain itu, pendapatan berulang biasanya relatif stabil, berbeda dengan penjualan tanah dan bangunan yang fluktuatif.

Kita sebagai investor saham, ada baiknya juga melihat emiten mana yang memiliki segmen pendapatan berulang (recurring revenue) signifikan.

Analisis Fundamental Emiten Properti : Laporan Keuangan

Balance Sheet (Neraca) Laporan Keuangan

Pertama, kita akan melihat Neraca atau Balance Sheet, akun apa saja yang biasanya penting untuk kita perhatikan.

Aset

Dari sisi aset, beberapa akun yang patut kita teliti antara lain Persediaan, Properti Investasi, dan Tanah untuk Pengembangan.

Akun Persediaan

Persediaan emiten properti termasuk dalam aset lancar. Isi akun ini adalah tanah dan bangunan yang siap untuk dijual.

Tanah Untuk Pengembangan

Tanah untuk pengembangan termasuk dalam aset tidak lancar. Akun ini biasanya terdiri dari tanah mentah. Jika anda baca berita atau riset analis tentang sektor properti, sering kali muncul kata “landbank”, maksudnya adalah akun ini.

Yang Perlu Anda Perhatikan

Landbank biasanya peruntukannya belum jelas, belum ada infrastruktur, belum ada jalan, jaringan listrik, dan lain-lain.

Saya sejujurnya juga kurang paham, kriteria apa agar emiten dapat mengakui suatu lahan sebagai landbank. Karena jika membaca beberapa Laporan Keuangan, sebagian landbank belum atas nama perusahaan, ada yang baru berupa ijin, ada juga lahan yang belum dibebaskan sepenuhnya. Contohnya BSDE.

BSDE Landbank atas nama Para Pendiri
Sebagian landbank masih tercatat atas nama Para Pendiri. PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).

Merujuk ke data di atas, jika kita hitung total luas lahan dan total nilai bukunya, terlihat kecil sekali biaya perolehannya. Tapi ketika masuk ke dalam penjualan, nilai HPP (Harga Pokok Penjualan) tidak serendah itu.

Karena beberapa alasan ini, saya yakin, kita tidak dapat mengacu bahwa nilai buku landbank adalah total nilai perolehan emiten. Emiten masih harus mengeluarkan banyak biaya agar tanah mentah tersebut, siap untuk dijual.

Contoh saja, coba hitung nilai buku per meter persegi tanah PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Sentul City Tbk (BKSL), kemudian bandingkan dengan HPP-nya. Kelihatan timpang.

Properti Investasi

Properti investasi adalah properti (tanah atau bangunan atau bagian dari suatu bangunan atau kedua-duanya) untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau kedua-duanya dan bukan untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan administrasi atau dijual dalam kegiatan bisnis normal.

Akun inilah yang menjadi sumber pendapatan emiten untuk mendapatkan pendapatan berulang. Asetnya bisa berupa mall, perkantoran, serviced apartment, hotel, gudang, dan lain-lain.

Emiten bisa memilih metode pengakuannya. Apakah metode biaya (nilai perolehan) atau metode nilai wajar. Jika menggunakan nilai wajar, maka secara berkala emiten akan melakukan revaluasi nilai wajar, selisihnya akan masuk ke dalam Laba Rugi. Penjelasan lebih lanjut pada segmen Laba Rugi.

Aset Tetap

Aset tetap dalam bisnis properti biasanya nilainya tidak besar. Berbeda misalnya dengan emiten manufaktur. Hal ini karena aset tetap adalah aset yang digunakan perusahaan dalam melakukan produksi atau sebagai kantor. Emiten manufaktur wajar memiliki aset tetap yang besar, misalnya pabrik dan mesin produksi. Tapi tidak untuk emiten properti, karena emiten properti tidak membutuhkan pabrik atau mesin. Aset tetapnya biasanya hanya berupa kantor, kendaraan perusahaan, dan inventaris kantor.

Tapi, ada kalanya emiten properti memiliki aset tetap yang besar. Pada kasus khusus aset tujuan utamanya untuk menghasilkan pendapatan sewa, termasuk ke dalam aset tetap, bukan properti investasi.

Kapan aset dengan tujuan utama menghasilkan pendapatan sewa masuk ke dalam aset tetap? Jawabannya jika dari penghasilan aset tersebut, nilai tambahnya sedikit. Aset yang nilai sewanya memiliki nilai tambah yang signifikan, termasuk dalam Properti Investasi.

Selain itu, beberapa emiten mencatat aset dalam proses pembangunan ke dalam Aset Tetap. Setelah selesai, baru kemudian direklasifikasikan ke dalam Properti Investasi.

Liabilitas

Uang Muka Penjualan

Ada utang “buruk” dan ada utang “baik”. Contoh utang baik adalah utang usaha, karena emiten bisa memakai barang terlebih dahulu – misalnya bahan baku – lalu membayarnya kemudian hari.

Khusus analisis fundamental emiten properti, utang baiknya adalah uang muka penjualan.

Emiten properti biasanya sewaktu menjual properti, meminta uang muka penjualan (DP, down payment).

Uang Muka Penjualan JRPT

Logikanya, perusahaan telah menerima uang pembayaran dari pembeli tapi belum dapat dibukukan sebagai pendapatan karena masih ada kewajiban yang harus dituntaskan. Itu alasannya masuk liabilitas. Jadi, sisi aset ada penambahan kas, sisi liabilitas ada penambahan Uang Muka Penjualan, dan hasilnya ekuitasnya tetap. Karena belum ada pembukuan laba/rugi. Setelah serah terima dan emiten mencatat pengakuan penjualan, maka liabilitas Uang Muka akan hilang dan ekuitas naik dari laba hasil penjualan tersebut.

Uang Muka Penjualan BSDE

Contoh lain BSDE, perhatikan ada sebagian Uang Muka Penjualan sudah 100%. Ini berarti pembeli sudah membayar lunas propertinya, namun BSDE belum mengakui sebagai penjualan. Bisa jadi karena belum serah terima properti tersebut.

Salah satu cara melihat potensi pendapatan emiten ke depan adalah dengan melihat tren Uang Muka Penjualan. Ketika tren UM naik, logikanya ke depan emiten berpotensi mewujudkannya menjadi penjualan saat serah terima properti.


Suka artikel ini? Masukkan email untuk mendapatkan artikel terbaru via email. NO SPAM.


Analisis Fundamental Emiten Properti : Laporan Laba Rugi

Seperti pembahasan sebelumnya, emiten properti mengakui penjualan ketika telah memenuhi beberapa syarat. Selama belum memenuhi syarat dan kewajiban, jika sudah ada uang muka yang masuk, perusahaan akan mencatat uang tersebut ke dalam Uang Muka Penjualan di Liabilitas. Pengakuan penjualan dapat anda baca pada CALK terkait. Contohnya seperti berikut.

Pengakuan Pendapatan dan Penjualan Properti Sebelum dan Sesudah 1 Januari 2020

Revaluasi atau Kenaikan Nilai Wajar

Selain pengakuan pendapatan tersebut, hal yang biasanya ada di emiten properti adalah revaluasi atau kenaikan nilai wajar.

Seperti telah kita bahas di segmen Properti Investasi, emiten properti bisa memilih menggunakan metode biaya perolehan atau metode nilai wajar. Jika menggunakan metode nilai wajar, maka dalam Laporan Laba Rugi, kita akan melihat akun “kenaikan nilai wajar.”

Contoh Kasus Kenaikan Nilai Wajar : MMLP dan GWSA
MMLP Kenaikan Nilai Wajar atas Properti Investasi dan Rugi Penjualan Properti Investasi

Sebagai contoh PT Mega Manunggal Property Tbk (MMLP). Setiap periode, MMLP mencatat kenaikan nilai wajar atas properti investasi. Yang menjadi masalah adalah, seperti kita lihat, MMLP juga mencatat “Rugi penjualan Properti Investasi”. Artinya, ketika aset tersebut terjual, ternyata nilai jualnya lebih rendah dari pengakuan kenaikan nilai wajar pada Laporan Keuangan. Dan ini tidak hanya satu kali, MMLP di periode sebelumnya juga mencatat rugi ketika menjual Properti Investasinya.

Jadi, tidak ada salahnya, untuk menghitung ulang, apakah kenaikan nilai wajar menurut manajemen benar-benar mencerminkan nilai pasar yang sesungguhnya?

Contoh lain, PT Greenwood Sejahtera Tbk (GWSA).

Kenaikan (penurunan) nilai wajar properti investasi GWSA

Pada periode 2015, GWSA mencatat laba revaluasi properti investasi sebesar 1.074T, padahal penjualannya saja hanya 84M. Tahun berikutnya 2016, rugi revaluasi 137.5M. Ini mungkin bisa jadi pelajaran juga, bagi yang hanya melihat ratio keuangan dari aplikasi misalnya RTI, bisa jadi terkecoh melihat laba naik tajam. Valuasi GWSA setidaknya dari PER saat itu seolah-olah menjadi murah, padahal labanya tidak berulang. Dalam investasi saham, kita sebaiknya teliti lebih dalam, dari mana asal labanya.

Kenapa bisa naik tajam 1T, dari mana asalnya? Laba revaluasi tersebut muncul dari TCC Batavia Tower 2 yang sedang dalam proses pembangunan. Selama dalam proses pembangunan, GWSA mencatat nilai aset tersebut bukan hanya dari biaya pembangunannya namun melalui metode nilai wajar. Kalo kepo, anda bisa pelajari lebih jauh, lumayan buat belajar. Berikut saya sertakan CALK revaluasi itu.

Properti Investasi TCC Batavia GWSA

Valuasi Emiten Properti & Real Estate

Valuasi nilai wajar yang umum untuk emiten properti ada discount to RNAV. RNAV adalah Revalued Net Asset Value. Berikut contoh perhitungan NAV dari PT Summarecon Agung Tbk (SMRA).

Net Asset Value SMRA

Dan berikut ini perhitungan beberapa ratio lain dari SMRA, termasuk Price to Book Value (PBV) dan P/E Ratio.

Analisis Fundamental Emiten Properti, ratio valuasi SMRA
Analisis Fundamental Emiten Properti, ratio valuasi SMRA

Terlihat berdasarkan estimasi manajemen NAV SMRA adalah 4050. Bandingkan dengan harga pasar SMRA terakhir yaitu 660. Apa ini berarti SMRA super murah? Screaming BUY? Bisa jadi, tapi belum tentu.

Alasannya karena NAV menggunakan asumsi seluruh aset perusahaan dapat terjual saat ini dengan harga pasar yang wajar. Padahal, untuk menjual aset dan produknya, emiten butuh waktu untuk memasarkannya. Jika kita membeli dengan harga NAV sekarang, tapi untuk menjualnya butuh waktu, berarti dari Time Value of Money jelas kita rugi. Satu lagi yang penting, setiap periode berjalan emiten butuh biaya operasional untuk membayar gaji, marketing, promosi, dan lain-lain… ini belum termasuk dalam hitungan NAV.

Singkatnya, NAV hanya gambaran berapa nilai aset perusahaan saat ini jika kita bandingkan dengan harga pasar saat ini. Tergantung kelihaian manajemen untuk mewujudkannya, untuk unlock the value.

Kenapa Valuasi RNAV?

Lalu kalau begitu, kenapa valuasi saham properti menggunakan RNAV?

Salah satu alasan utamanya karena sektor properti termasuk sektor siklikal. Artinya ada kalanya kinerja bagus banget dan jelek banget. Mirip dengan sektor komoditas yang juga siklikal. Ketika lesu, beberapa emiten bisa menderita rugi, namun ketika booming kinerjanya terlalu bagus. Karena hal ini, bisa jadi kita keliru jika menggunakan PE Ratio misalnya. PE Ratio menjadi terlalu murah ketika booming dan terlalu mahal ketika pasar lesu.

Valuasi Discount to RNAV

Itu sebabnya ada pendekatan discount to RNAV, agar kita bisa melihat berapa nilai intrinsik suatu emiten lalu kita minta diskon.

Biasanya yang jadi acuan adalah discount to RNAV. Dan biasanya yang bisa kita lihat hanya bagaimana pasar selama ini menghargai emiten properti, yaitu perbandingan NAV perusahaan dengan harga sahamnya di pasar.

Property Sector Discount to RNAV 2013-2018

Secara historis, pasar menghargai emiten properti rata-rata sekitar 35% discount to RNAV. Ketika bullish atau sektornya membaik, diskon itu akan turun dan sejarahnya tertinggi 20% disc to RNAV. Bahkan ketika bullish, tidak ada emiten yang mendapatkan valuasi sampai setara RNAVnya, alasannya sudah saya jelaskan di atas. Sebaliknya ketika lesu, pasar mendiskon sampai lebih dari 60% discount to RNAV.

Merujuk ke data DBS Vickers, berikut data terakhir discount to RNAV emiten properti Indonesia.

Property Sector Discount to RNAV 2019
Property Sector Discount to RNAV 2019

Update 2022

Berikut ini update data discount to RNAV sektor properti di Indonesia per 15 September 2022.

Discount to RNAV 15 September 2022
Discount to RNAV sektor properti 15 September 2022
Discount to RNAV 2013-2015 vs last three years.
Discount to RNAV 2013-2015 vs last three years.

Berikut ini valuasi saham BSDE, CTRA, PWON, dan SMRA.

Discount to RNAV BSDE, CTRA, PWON, SMRA
Discount to RNAV BSDE, CTRA, PWON, SMRA 15 September 2022.

Sekian, dude tentang analisis fundamental emiten properti dan real estate. Ada komen, tambahan, atau koreksi?

5 komentar untuk “Analisis Fundamental Emiten Properti & Real Estate”

  1. Ada enggak sih jurus sapu jagat nya valuasi saham property ini? Apakah dari konsumen nya atau ketika daya beli jatuh paling bawah atau ketika perusahaan nya masih ada barang jadi nya, jadi tinggal jualan gitu nanti? Saya melihat di jalan ada pembangunan apartemen yg berhenti ketika pandemi ini, dilihat sudah diatas 50 persen jadi bentuk nya. Ada yg 90 persen jadi dengan pengembang yg sama. Tapi masih butuh waktu lama sampai bisa untuk berjualan.

  2. Great article! thanks for sharing. I think perlu di consider juga lebih dalam apakah land bank yang dimaksud masih izin lokasi atau sudah balik nama ke PT (meskipun seringkali ambigu di LK). Selain itu untuk cash conversion cycle juga pengaruh ke kesehatan perusahaan properti, perbedaan di tiap emiten cukup besar.

Ada komen, dude?

Scroll to Top