Beranda » Value Investing » Valuasi Saham dan Nilai Wajar Emiten : Pengenalan
Warren Buffett Quote

Valuasi Saham dan Nilai Wajar Emiten : Pengenalan

Valuasi saham dan nilai wajar adalah salah satu topik yang paling sering ditanyakan di komunitas saham terutama penganut value investing. Pasti tidak jarang kita lihat ada yang bertanya seperti berikut :

“Valuasi saham ABCD wajarnya berapa ya?”

“Nilai wajar saham WXYZ ada yang tau berapa, udah murah kan ya?”

Valuasi Saham dan Nilai Wajar

Sebagai value investor, valuasi saham dan nilai wajar saham memang sesuatu yang sangat penting. Investasi pada prinsipnya adalah mengeluarkan uang sekarang dan berharap nilainya tumbuh di masa depan. Dari mana nilainya bertumbuh? Untuk itulah kita lakukan valuasi nilai wajar suatu emiten dengan cara analisis fundamental saham. Kita harus tahu berapa nilai wajar suatu aset agar kita tahu berapa harga maksimal yang kita bayarkan dan masih tetap mendapatkan keuntungan.

“Everything is triple-A at the right price.”

Howard Marks

Tapi value investing adalah topik yang sangat luas, jadi tidak mungkin bisa kita bahas hanya dalam satu tulisan singkat. Tidak mungkin pula menguasainya dalam waktu singkat. Karena itu, tulisan ini hanyalah pengenalan, selanjutnya jika anda berminat tentunya harus menggali lebih dalam.

Oya, saya akan menggunakan istilah value investing di blog ini, tanpa mengkotak-kotakkan value investing, growth investing, momentum, atau yang lainnya. Karena menurut Munger “all intelligent investing is value investing.”

“In our way of thinking all intelligent investment is value investment because why would you want to buy something which wasn’t worth as much as you were paying for us – Like buying something for less than it’s worth – The first rule of value investing is to find some place to fish for value investments where there are a lot of them… So we’re just looking in different places but we’re value investors”

Charlie Munger

Satu lagi yang perlu anda ingat, valuasi baru bisa anda lakukan setelah anda telah mengenal model bisnis emiten, potensi, tantangan, manajemen, dan lain-lain. Karena, dalam melakukan valuasi dan menentukan nilai wajar, ada input yang harus masukkan, ada ekspektasi, dan juga thesis yang anda bangun. Tentunya hanya bisa kita lakukan setelah mengenal bisnis emiten. Anda bisa baca Investasi Saham Untuk Pemula tentang hal ini.

Tiga Macam Valuasi Saham

Secara umum, dalam analisis fundamental saham, valuasi saham bisa kita bagi menjadi tiga macam, yaitu Metode Biaya, Metode Nilai Pasar atau Relative Valuation, dan Absolute Valuation atau Intrinsic Valuation.

Metode Biaya

Metode Biaya artinya menghitung biaya yang kita butuhkan untuk membuat/membangun perusahaan serupa. Biaya di sini bisa berupa Cost to Build mau pun Replacement Cost. Yang sering digunakan adalah Book Value (nilai buku) dan NAV (Net Asset Value). Contohnya anda melihat satu perusahaan manufaktur. Lalu anda coba hitung berapa total investasi untuk membuat perusahaan yang serupa?

Setelah melakukan penghitungan, lalu kita lihat berapa harga pasarnya. Inilah yang biasanya kita kenal Price to Book Value atau PBV. PBV di bawah satu artinya kita bisa membeli di bawah nilai bukunya dan sebaliknya.

Price to Book Value adalah ratio harga pasar terhadap nilai buku (ekuitas) emiten. PBV = Market Value : Book Value. Karena Market Value (Market Capitalization) = Price * Total Saham dan BVPS = Ekuitas/Total Saham maka bisa juga menghitung PBV = Price : BVPS.

Metode biaya termasuk metode valuasi harga saham perusahaan yang relatif mudah dilakukan. Mungkin karena itu, metode ini menjadi salah satu yang populer dan menjadi favorit banyak investor. Asset play biasanya menggunakan pendekatan metode biaya untuk valuasi nilai wajar aset perusahaan.


Suka artikel ini? Masukkan email untuk mendapatkan artikel terbaru via email. NO SPAM.


Yang Perlu Anda Ingat Tentang Valuasi Metode Biaya

  1. Balance Sheet atau Neraca adalah snapshot. Bayangkan seperti melihat foto, yang anda lihat adalah keadaan detik itu saja, detik selanjutnya sudah berubah.
  2. Yang kedua, nilai buku bisa berbeda dengan nilai pasar (bisa di bawah pasar atau di atas pasar). Nilai buku tiap aset tergantung metode yang digunakan emiten untuk pembukuannya. Jika ingin akurat, tentunya satu per satu nilai buku aset emiten tersebut anda coba hitung. Contohnya jika Laporan Keuangan emiten mencatat aset tanah 10 hektar senilai Rp 100M, anda harus yakin nilai pasarnya setidaknya sama dengan nilai bukunya.
  3. Nilai buku tidak mencerminkan future growth (atau going concern?).
  4. Ada beberapa aset (intangible assets) yang secara akuntasi sulit dibukukan. Misalnya saja brand, reputasi, jaringan distribusi, atau economic moat lainnya yang intangible. Bisa jadi emiten terlihat mahal padahal emiten tersebut memiliki intangible assets yang luar biasa.
  5. Yang terakhir, merujuk ke Warren Buffett Letter 1989 berikut tentang cigar butt investing. Ada kelemahan dari cigar butt investing, terutama jika anda hanyalah investor ritel yang membeli secuil kepemilikan, bukan “bargain purchase”. Ada kemungkinan anda tidak bisa “unlock the value”. Walau pun nilai pasar sangat murah tidak ada jaminan harga sahamnya akan naik, sementara anda tidak ada kuasa untuk melakukan likuidasi. Lebih parah, jika perusahaan terus merugi, awalnya PBV murah, jika terus merugi akhirnya akan mahal atau malah bisa jadi bangkrut.
    • Warren Buffett Cigar Butt


Metode Nilai Pasar (Relative Valuation)

Metode Nilai Pasar nama lainnya Relative Valuation atau Comparative Valuation adalah membandingkan harga yang terbentuk di pasar suatu aset/emiten dengan aset/bisnis yang serupa.

Asumsi utamanya adalah harga rata-rata di pasar adalah nilai wajarnya. Sehingga, saat harganya di bawah harga rata-rata, berarti saat itu emiten undervalued. Kita dapat membandingkan dengan sektor atau industri yang sama, atau bisa juga dengan membandingkan dengan historis emiten itu sendiri. Itu sebabnya metode ini dikenal sebagai Relative Valuation atau Comparative Valuation.

PBV juga bisa kita pakai dalam metode ini, yaitu dengan membandingkan PBV sektornya atau rata-rata PBV emiten tersebut di masa lampau. Selain PBV, ratio yang umumnya digunakan adalah Price to Earning Ratio atau PER.

Price to Earning Ratio

PER atau Price Multiples adalah ratio harga pasar saham terhadap laba bersih saham tersebut. Laba bersih yang kita hitung adalah laba bersih satu tahun. PER bisa kita hitung dengan cara membagi harga saham perusahaan dengan laba bersih per lembar saham atau earning per share (EPS). Atau dengan kata lain : PER = Price/EPS. Bisa juga kita dapatkan dengan membagi Market Capitalization dengan Laba Bersih, yaitu PER = Market Capitalization/Laba Bersih.

Ide dasarnya adalah ketika membeli saham, kita coba cari tahu berapa harga yang kita pikir pantas kita bayar untuk mendapatkan laba bersih tersebut. Ingat, laba bersih secara teori adalah hak pemegang saham (kebalikan dari PER adalah Earnings Yield = Laba Bersih/Harga Saham). PER 10x artinya anda membayar 10 kali lipat laba bersihnya. Jika laba konstan maka dalam 10 tahun investasi anda BEP. Jika laba bertumbuh, lebih cepat dan jika laba turun lebih lama lagi.

Contohnya, jika PER industri 15x dan PER Saham A 10x, maka berdasarkan valuasi ini, Saham A undervalued atau “salah harga”. Menggunakan data historis atau membandingkan valuasi perusahaan tersebut dengan valuasinya di masa lampau. Contohnya adalah Saham B secara historis valuasinya di pasar PBV 1x, jika saat ini harganya PBV 3x, maka kesimpulannya Saham B overvalued.

Kelemahan

  1. Kelemahan relative valuation bisa saja murah secara relatif tapi mahal secara absolute valuation (terutama.di industri yang PERnya tinggi).
  2. Selain itu, tidak bisa kita gunakan untuk setiap sektor, terutama yang model bisnisnya laba tidak stabil atau siklus. Bisa saja saat anda lihat PER murah, padahal emiten sedang di puncak siklusnya. Valuasi ini memprediksi laba emiten di masa depan, sesuatu yang kita tidak bisa tahu persis.
  3. Tidak semua emiten mendapatkan valuasi yang sama walau satu sektor. Biasanya ada “market darling”. Valuasinya premium sendiri. Market darling ini bisa ada beberapa penyebabnya misalnya karena market leader atau sedang dalam fase bertumbuh. Sebagai catatan, hati-hati ketika memilih emiten dan membandingkan dengan valuasi market darling. Hati-hati juga, ketika market darling kehilangan moatnya, berharap emiten tersebut kembali ke valuasi premiumnya padahal sudah bukan market darling lagi (salah satunya misalnya karena kinerjanya terus memburuk).

Absolute Valuation (Discounted Cash Flow)

Absolute valuation atau intrinsic valuation. Disebut absolute karena valuasi ini fokus melihat kemampuan internal emiten, terutama kemampuan emiten dalam menghasilkan cash flow di masa mendatang. Kemampuan tersebut kita sebut nilai intrinsik suatu perusahaan.

Metode utama valuasi nilai wajar ini adalah discounted cash flow (DCF). DCF atau arus kas diskonto adalah metode valuasi nilai intrinsik yang bertujuan untuk mengestimasi nilai investasi kita berdasarkan arus kas di masa mendatang, kemudian didiskontokan dengan rate tertentu ke saat ini. Untuk paham DCF anda harus paham Time Value of Money (TVM).

Dari sini akan muncul beberapa pemodelan yang dasarnya adalah DCF. Contohnya Gordon Growth Model, Free Cash Flow Model, dan Dividend Discount Model. Konsep valuasi equity-bond yang dipopulerkan Warren Buffet termasuk absolute valution.

Warren Buffett Equity-Bond Valuation

Buffett menganalogikan bond (obligasi) adalah ekuitas (saham) dan kupon atau suku bunga adalah pretax earnings atau EBT (Earnings Before Tax). Bedanya, kupon obligasi tetap sedangkan EBT konsisten bertumbuh. Satu lagi perbedaannya adalah bond ada jatuh temponya sedangkan saham selama perusahaannya terus beroperasi, tidak ada jatuh tempo alias perpetual.

Mary Buffett dalam bukunya yang berjudul “Warren Buffet and The Interpretation of Financial” juga membahas Equity-bond valuation. Salah satu contohnya adalah investasi Buffett di Coca-Cola. Klik gambar di bawah untuk memperbesar.

Kelemahan

Namanya saja absolute, pada dasarnya tetap banyak asumsi di dalamnya, sehingga hasil valuasinya pun sangat tergantung pada asumsi kita dan ini berarti tergantung seakurat apa kita dalam menilai suatu aset dan sedalam apa kita mengerti bisnis emiten tersebut.

Beberapa Hal Lain Tentang Valuasi Saham Perusahaan

  1. Tidak ada valuasi nilai intrinsik yang akurat karena dalam melakukannya tiap orang menggunakan input yang di dalamnya ada asumsi, prediksi, dan ekspektasi. Sehingga sudah pasti subyektif dan ada bias. Maka nilai wajar yang benar-benar wajar sebenarnya tidak akan ada, yang ada adalah rentang harga yang menurut anda wajar. Solusinya anda harus gunakan Margin of Safety.
  2. Sadar tidak sadar, sejak awal anda memilih untuk riset suatu saham, ada “preconception” yang terbentuk. Misalnya karena produknya terkenal, anda suka produk/jasanya, market leader, big fund mulai invest besar-besaran, investor XXX anda baca di media juga invest di sana, dan lain-lain. Dari 700 emiten anda putuskan riset satu saham tertentu saja sudah pasti sejak awal ada “sesuatu” di pikiran anda tentang emiten tersebut. Hal ini bisa menyebabkan bias. Solusinya adalah mencoba bersikap seobyektif mungkin dan secepatnya menyadari bias tersebut.
  3. Valuasi saham tidak bisa kita lakukan satu kali dan lupakan. Ingat, di dalamnya ada input yang anda masukkan. Solusinya anda harus revisit berkala, pastikan input di awal masih on track, atau ubah inputnya dengan fakta (atau asumsi) yang anda pikir lebih baik.

Valuasi saham yang mana yang paling sering kamu pakai, dude?

10 komentar untuk “Valuasi Saham dan Nilai Wajar Emiten : Pengenalan”

  1. Dude, makasih atas tulisannya. Tulisan-tulisan di bolg ini sangat mudah dicerna. Izin langganan via email 🙏🏻. Sukses selalu blog-nya dude.

  2. Saya ingin nanya, saya liat ada emiten perusahaan yang harga saham nya agak ‘rock n roll” gitu. Dilihat cashflow nya ternyata juga rock’n’roll yang agresif, misal CFO 3T , CFI nya hampir 3 T juga tapi sales nya lumayan tinggi aset juga tinggi bookvalue. Apakah ini manajemen nya atau bisnisnya yg cenderung mempengaruhi ya? . Kalo untuk kepemilikan publik dan pengendali nya termasuk oke saja soalnya dibandingkan perusahaan yg sektor yg sama. Terimakasih.

    1. CFO 3T berarti emitennya mayan besar ini ya. Ini yg ditanya soal apa ya? Soal harga rock n roll? Secara umum, sebaiknya hindari saham gorengan. Tapi kalo merasa sudah riset dan yakin ada potensi di emiten tsb, sikat aja. Toh kita tidak terlibat aksi goreng menggorengnya. Fokus pada kinerja dan valuasi harga sahamnya, lalu beli ketika murah. Kalo setelah itu “digoreng”, ya bilang makasih ke bandarnya dan klik SELL ketika sudah overvalued.

      1. Oh iya nanya lagi, kalo untuk perhitungan Price to Cashflow biasanya cara nya anda gimana yang mudah? kalo ada tulisan nya saya ingin baca baca , terimakasih.

        1. Price to Cash Flow mirip Price to Earnings, bedanya P/CF fokus melihat cash yang dihasilkan oleh emiten dan mengabaikan non-cash seperti depresiasi, amortisasi, revaluasi, impairment, dll. Caranya bisa liat Laporan arus kas atau adjust Earningsnya dengan membuang porsi non cash. Liatnya tentunya gak bisa satu periode, kalo bisa liat tahun2 di masa lalu.

Ada komen, dude?

Scroll to Top